JAKARTA, GANLOP.COM – Sebagai perusahaan yang memiliki komitmen jangka panjang untuk turut menangani permasalahan sampah plastik di Indonesia dari hulu ke hilir, PT Unilever Indonesia, Tbk. hari ini merilis hasil studi tentang rantai nilai sampah plastik di Pulau Jawa, yang salah satunya menunjukkan bahwa ternyata baru sekitar 11,83% sampah plastik yang sudah didaur ulang.
Melihat fakta ini, sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan laju daur ulang sampah plastik pasca konsumsi, Unilever Indonesia mendorong digitalisasi Bank Sampah melalui kolaborasi dengan Google My Business. Digitalisasi ini memungkinkan masyarakat untuk lebih mudah menemukan Bank Sampah, sehingga masyarakat yang sudah memilah sampah dari rumah akan bisa menyalurkan sampahnya dengan tepat, tidak terbuang ke TPA.
Nurdiana Darus, Head of Corporate Affairs and Sustainability
PT Unilever Indonesia, Tbk. menyampaikan, “Permasalahan pengelolaan sampah
plastik maupun pengelolaan sampah secara keseluruhan memerlukan perhatian
serius dari kita semua. Sebagai pihak produsen, paling lambat pada tahun 2025,
Unilever secara global berkomitmen untuk mengurangi setengah dari penggunaan
plastik baru, mempercepat penggunaan plastik daur ulang, serta mengumpulkan dan
memproses kemasan plastik lebih banyak daripada yang dijualnya.”
“Dalam upaya mewujudkan komitmen tersebut, kami melihat
bahwa perubahan pola pikir, kebiasaan, hingga ke tatanan sistem saat ini
dibutuhkan untuk memastikan bahwa plastik tidak melulu menjadi sumber masalah,
bahkan justru memberikan keuntungan bagi kita. Untuk itu, dibutuhkan kolaborasi
dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, pihak produsen seperti Unilever,
dan juga seluruh lapisan masyarakat,” lanjut Nurdiana.
Guna membantu meningkatkan laju pengumpulan dan daur ulang kemasan plastik pasca konsumsi, Unilever Indonesia ingin memahami pemetaan mata rantai kemasan pasca konsumsi yang dapat didaur ulang; termasuk data mengenai pelaku pendaur ulang, potensi pasokan, model bisnis, dan kerangka kerja proses pengumpulan kemasan yang dapat didaur ulang. Untuk itu, sepanjang Oktober 2019 hingga 20 Februari 2020, Unilever Indonesia bekerja sama dengan Sustainable Waste Indonesia (SWI) dan Indonesian Plastic Recyclers (IPR) melakukan sebuah studi mengenai tentang rantai nilai sampah plastik, khususnya di Pulau Jawa.
Dini Trisyanti selaku Direktur SWI mengungkapkan hasil studi
tersebut, “Masyarakat di perkotaan Pulau Jawa menghasilkan sekitar 189.000
ton/bulan atau 6.300 ton/hari sampah plastik, dan hanya sekitar 11,83% atau
kurang lebih 22.000 ton/bulan yang dikumpulkan kemudian didaur ulang. Sekitar
88,17% masih diangkut ke TPA atau berserakan di lingkungan.”
“Selain itu, penyerapan sampah plastik pasca konsumsi di
Pulau Jawa masih sangat rendah, yakni baru sekitar 0,09 juta ton plastik per
tahun dibandingkan dengan kapasitas daur ulang plastik nasional yang berada
dikisaran 1,65 juta ton plastik per tahun. Dibutuhkan intervensi dan kolaborasi
dari berbagai pihak untuk menjembatani kesenjangan ini, termasuk dari sisi
teknologi dan inovasi.”
Unilever Indonesia berharap studi ini akan bermanfaat bagi
sesama pelaku industri, membantu meningkatkan kehidupan dan penghidupan semua
pihak yang terlibat di dalam mata rantai kemasan daur ulang, serta menjadi
pembelajaran nyata yang nantinya dapat membantu para pembuat kebijakan dan
pemangku kepentingan untuk lebih mempertajam strategi pengelolaan kemasan pasca
konsumsi sekaligus memetakan potensi ekonomi sirkulernya.
Selanjutnya, temuan lain pada studi ini menunjukkan bahwa
dari sekitar 22.000 ton sampah plastik yang dikumpulkan, 83% berasal dari
pemulung, 15,2% dari Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) ataupun Tempat
Pengolahan Sampah 3R (TPS3R), dan hanya 1,5% berasal dari Bank Sampah. Hal ini
menunjukkan peran Bank Sampah sebagai salah satu pihak yang memiliki fungsi
strategis dalam mengatasi dampak sampah pasca konsumsi masih perlu
ditingkatkan.
Maya Tamimi selaku Head of Division Environment &
Sustainability Unilever Indonesia Foundation menerangkan, “Percaya akan potensi
dan manfaat Bank Sampah yang begitu besar, sejak 2008 Unilever Indonesia
Foundation mulai mengenalkan program Bank Sampah berbasis komunitas. Hingga
saat ini Unilever telah membangun 3.858 unit bank sampah dan telah mengurangi
sebanyak 12.487 ton sampah non-organik.”
“Menurut pengamatan kami, salah satu kendala yang masih
menghambat peranan Bank Sampah adalah aksesibilitas, yaitu belum meratanya
penyebaran informasi mengenai lokasi Bank Sampah. Di era teknologi seperti
sekarang, digitalisasi bank sampah dapat membantu memudahkan masyarakat
mengakses dan memanfaatkan Bank Sampah terdekat,” jelas Maya.
Sejalan dengan upaya Pemerintah untuk menggalakkan
digitalisasi Bank Sampah, Unilever Indonesia berkolaborasi dengan Google
mendampingi pebisnis Bank Sampah mendaftarkan diri di platform Google My
Business (https://www.google.com/business/). Informasi mengenai Bank Sampah
mereka akan muncul saat pengguna mencari nama bisnis atau nama bidang usaha di
search engine dan Google Maps.
Saharuddin Ridwan selaku Ketua Asosiasi Bank Sampah
Indonesia menanggapi, “Kerjasama ini akan sangat membantu masyarakat untuk
menemukan Bank Sampah secara online dengan mudah, sehingga pada akhirnya
diharapkan akan meningkatkan minat dan partisipasi masyarakat terhadap program
Bank Sampah.”
Saat ini, lebih dari 300 Bank Sampah binaan Unilever
Indonesia telah terdaftar di Google My Business. Perusahaan akan terus memantau
dan mengajak lebih banyak lagi Bank Sampah untuk bergabung, sehingga mereka
dapat ikut memanfaatkan teknologi digital dalam mengembangkan usaha. Untuk
mengetahui data Bank Sampah binaan Unilever Indonesia yang telah terhubung
dengan platform Google My Business, silakan kunjungi:
www.unilever.co.id/sustainable-living/yayasan-unilever-indonesia/program-lingkungan/