JAKARTA, GANLOP.COM –
Pandemi Covid-19 tidak hanya mengubah cara kerja jurnalisme, namun juga
bisnis media secara keseluruhan. Media harus lebih kreatif, adaptatif dan
melakukan mitigasi yang tepat dalam menjalani kondisi new normal.
Demikian terungkap dalam hasil riset media yang dikeluarkan
oleh Imogen Communications Institute (ICI), Kamis (23/07). Managing Director
Imogen PR sekaligus Principal ICI Jojo S. Nugroho mengatakan, dalam survei
terbarunya mereka menemukan bahwa pandemi Covid-19 paling berpengaruh terhadap
pemasukan dan pendapatan bisnis media.
“70,2 persen persen responden menjawab bahwa perusahaannya
telah terdampak oleh Pandemi. Yang paling banyak dikeluhkan adalah menurunnya
pemasukan iklan serta berkurangnya sponsor dan user,” kata Jojo.
Dalam riset yang bertema Transformasi Jurnalisme dan Nasib
Bisnis Media Di New Normal ini melibatkan 124 jurnalis media massa di 10 kota
Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Palembang, Medan,
Pekanbaru, Makassar, Banjarmasin, Samarinda dengan metode kuantitatif maupun
kualitatif. Hasil temuan penelitian ini mampu memberikan gambaran transformasi
proses kerja media dan skala krisis yang dihadapi bisnis media, untuk
memberikan insight bagi institusi maupun bisnis di sektor lain untuk
bersama-sama bertahan dalam menghadapi tantangan dan krisis.
“Media masih akan terus ada walau tergerus waktu dan kondisi
pandemi, tapi diperlukan berbagai strategi adaptasi, mitigasi, dan navigasi
yang tepat untuk mengarahkan perusahaan media melalui kondisi ini. Oleh karena
itu, perusahaan media perlu mengeluarkan berbagai arahan dan kebijakan yang
mampu menunjang produktivitas, menjaga fungsi fundamental media, dan tetap
mengutamakan keamanan dan kesehatan,” jelas Jojo.
Menurutnya, segala cara adaptasi yang dilakukan perusahaan
dan pekerja media, bukan semata-mata untuk mempertahankan bisnis, tapi juga
dibutuhkan untuk tetap memenuhi hak publik akan informasi. “Transformasi cara
kerja jurnalisme bukan hanya bentuk adaptasi untuk menyelamatkan bisnis, namun
bentuk tanggung jawab pekerja media guna memastikan setiap orang bisa
mendapatkan dan mengakses informasi dalam situasi apapun,” ungkap Jojo yang juga
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan PR Indonesia (APPRI).
Dalam kesempatan sama Sekjen Asosiasi Perusahaan Pengiklan
Indonesia (APPINA) Musa Chandra mengakui pengiklan saat ini memang banyak
memakai sosial media dan influencer, akan tetapi efektivitas dari pendekatan
ini sangat tergantung pada ekspektasi jumlah jangkauan dan juga kesesuaian
brand dengan influencernya.
“Pemilihan sosial media dan influencer memang meningkat
pesat belakangan ini, karena dapat diukur melalui konversi dengan potensi
penjualan yang diciptakan melalui investasi iklan. Sosial media dan Influencer
harus bersinergi, sosial media akan lebih mudah diterima atau menjangkau lebih
banyak para calon konsumennya, sedangkan Influencer sebagai virality ataupun
creative storyteller dengan gaya bahasa masing-masing,” paparnya.
Lalu bagaimana solusinya agar media konvensional dapat
kembali dipilih menjadi target pengiklan, Musa menjelaskan bahwa tujuan dari
pengiklan adalah menjangkau sebanyak mungkin para (calon) konsumennya, sehingga
media televisi masih tetap menjadi pilihan dibanding media lain.
“Ini adalah perang dari eyeball dan perhatian atau
attention. Para pengiklan ingin menjangkau sebanyak mungkin konsumen. Jangkauan
media adalah hal pertama yang harus dicapai dan diverifikasi, sebelum kita
semua dapat berdiskusi mengenai dampak positif yang mungkin dibawa oleh media
tersebut untuk menimbulkan minat dan permintaan masyarakat. Media konvensional
seperti televisi tetap menjadi pilihan kami,” jelasnya.
Lebih lanjut Jojo menambahkan media juga bisa berkolaborasi
dengan para praktisi PR atau humas karena mereka juga memiliki kepentingan agar
media tetap bertahan. Media dan humas bisa merumuskan produk atau jasa yang
bisa mengakomodir kebutuhan humas untuk mempublikasikan informasi namun sekaligus
memberikan pemasukan kepada media.
“Komodifikasi berita di media massa selama ini sesuatu yang
enggan untuk dibahas, namun para prakteknya terjadi di jalur belakang. Nah
sekarang saatnya untuk dibahas bareng agar industri media bisa bertahan,” tutup
Jojo.