GANLOP.COM - Pandemi COVID-19 memaksa jutaan orang untuk
bekerja dari rumah, baik di Indonesia maupun penjuru dunia lainnya. Menurut
Dinas Tenaga Kerja Transmigrasi (Disnakertrans) DKI Jakarta, per 1 April 2020,
sebanyak 1.043.773 pekerja formal telah didorong untuk bekerja dari rumah.
Angka tersebut makin melonjak seiring dengan diberlakukannya Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) yang berlaku sejak 10 April 2020. Dengan lebih dari tiga
juta pekerja formal, atau hampir 70% dari total keseluruhan tenaga kerja di Jakarta,
fenomena peningkatan kerja jarak jauh di Ibukota baru memasuki tahap awal
perkembangannya.
Jumlah orang yang mempraktikkan kerja jarak jauh bisa
dibilang memang meningkat akibat terjadinya pandemi, namun metode kerja seperti
ini sebetulnya bukanlah fenomena baru. Dengan perkembangan teknologi internet
yang semakin pesat, bekerja dari rumah, baik paruh maupun penuh waktu, menjadi
sesuatu yang makin lazim di kalangan pekerja formal.
Dalam beberapa tahun terakhir, bekerja jarak jauh telah
terakomodir dengan makin menjamurnya co-working space. Konsumen merasakan
manfaat dari co-working space tersebut melalui komunitas serta fasilitas yang
disediakan oleh operator co-working. Namun, dengan segala peristiwa yang
terjadi baru-baru ini, para pekerja jarak jauh bisa saja terbuka matanya untuk
mencari pilihan tempat tinggal lain yang juga dapat menghadirkan fasilitas
serta nuansa komunitas.
Keyakinan tersebut didorong oleh hasil survei Buffer pada
tahun 2019 yang menyatakan kalau 84% pekerja jarak jauh nyatanya masih memilih
untuk melakukannya di rumah mereka. Dari situ, ‘saudara jauh’ co-working, yaitu
co-living, bisa menjadi suatu tren baru di masa yang akan datang dengan
menyediakan ‘kombinasi’ yang sesuai bagi populasi pekerja jarak jauh yang
sedang bertumbuh pesat.
Di kala banyak pekerja didorong untuk bekerja di rumah,
mereka yang tinggal di lingkungan co-living justru tidak perlu mengorbankan
kenyamanan semasa bekerja karena tetap dimungkinkan untuk menjaga komunikasi
serta kondusivitas kerja di dalam ruang komunal.
Sebagai pekerja digital media lepas di Jakarta, Fati (24)
memiliki kebebasan untuk memilih tempat kerjanya. Namun, Ia memutuskan untuk
menyewa ruang co-working di Mega Kuningan. Pilihan tersebut didasari oleh
adanya kemungkinan untuk melakukan networking, hingga tersedianya acara
mingguan hingga fasilitas macam WiFi berkecepatan tinggi.
Sebelum Pemerintah Jakarta mendorong warganya untuk bekerja
dari rumah pada awal Maret, Fati biasa menghabiskan 15 menit waktu perjalanan
ke tempat kerja dari huniannya di kawasan Setiabudi yang disewa dari operator
co-living bernama Flokq. Selama pandemi, Ia melakukan seluruh pekerjaan dari
ruang co-livingnya, dan sama sekali tidak kehilangan segala kelebihan yang juga
biasa Ia rasakan di tempat kerjanya.
*Opsi Kerja Jarak Jauh bagi Para Pencari Tenaga Kerja*
Potensi perubahan tren dari co-working menjadi co-living
turut disadari oleh Garry (32), entrepreneur startup di Jakarta. Meskipun
tinggal di ruang co-living yang disediakan oleh Flokq di kawasan Senopati, Ia
tetap mampu bekerja sama dengan timnya yang berhunian di ruang co-working di
kawasan Mega Kuningan. Selama pandemi, Garry tetap menjaga koordinasi dengan
timnya, selagi Ia sendiri dapat membangun network dengan penghuni co-living
lain di tempat yang Ia huni.
“Pembatasan sosial umumnya akan mengurangi terjadinya
pertemuan ataupun acara-acara lain. Tapi bagi saya resiko tersebut tidak begitu
berpengaruh, karena saya tetap dapat bertemu dan membangun network dengan
orang-orang yang berada di lingkungan co-living,” jelas Garry.
Sejalan dengan banyaknya bisnis yang terimbas akibat pandemi
ini, Garry pun berupaya memotong biaya operasional dengan mendorong timnya
untuk melakukan kerja jarak jauh. Dari situ, Ia bahkan berencana mengakhiri
sewa ruang co-working-nya, dan sebagai ganti, bekerja jarak jauh sepenuhnya
dari ruang co-living yang Ia huni sekarang.
Lebih jauh, Garry juga menjelaskan, ini merupakan masa-masa
yang sulit, bukan hanya bagi usaha miliknya, namun juga orang lain. Rekan-rekan
dia yang sesama pengusaha startup juga mempertimbangkan untuk mengakhiri masa
sewa ruang co-working mereka.
*Investor Raup Keuntungan dari Model Co-living*
Cerahnya bisnis co-living di masa depan juga sudah
diprediksi oleh Akash Mulani, Flokq Advisior and Director Real Estate
Investment Firm, di Australia. Ia
mengaku malah sedang menggodok konsep bisnis baru setelah melihat dampak
pandemi saat ini.
“Kami sangat yakin akan masa depan co-living terkait kondisi
masyarakat dan ekonoi saat ini yang terdampak COVID-19. Kegiatan isolasi
mandiri yang saat ini banyak dilakukan masyarakat berarti akan mengurangi
interaksi manusia dan dapat menurunkan kualitas kesehatan mental." kata
Akash.
"Dengan co-living, orang-orang mendapat kesempatan
untuk menjaganya tetap stabil sambil tinggal di dalam rumah. Dengan kebijakan
WFH yang kian menjadi umum, masyarakat membutuhkan ruang untuk dirinya bekerja,
teman yang dapat diandalkan karena memiliki persamaan minat dan latarbelakang,
atau tentunya ruang dengan biaya sewa ringan per bulannya,” jelas Akash.
“Dibandingkan dengan kost-kostan, co-living dapat menjamin
semua kualitas itu. Co-living dan Co-working dalam gedung yang sama, adalah
sebuah konsep baru yang sedang kami jajaki dalam beberapa tahun ini. Kami
berencana meluncurkannya dalam 12 atau 24 bulan ke depan,” pungkas Akash .
Sebelum pandemi COVID-19, model ruang co-working cukup
banyak dilirik oleh para pemilik properti dan investor. Namun, baru-baru ini,
para pelaku properti serta investor-investor tersebut juga mulai memetik profit
dari model yang menghasilkan keuntungan lebih besar per meter persegi-nya dibandingkan
model sewa tradisional ini.
Dengan bekerja bersama operator seperti Flokq, pemilik
properti juga terlepas dari tingginya pengeluaran ataupun resiko turnover.
Seluruh hal tersebut akan sepenuhnya ditangani oleh operator. Seiring makin
banyaknya pekerja jarak jauh yang mengidamkan perpaduan antara kenyamanan hidup
serta kemampuan untuk melakukan networking layaknya ruang kerja tradisional,
tentu potensi keuntungan yang mungkin diraih oleh pemilik properti dan investor
juga akan semakin melangit.
Nicholas Pudjiadi, VP Jayakarta Group, juga melihat
perubahan ini. “Pandemi Covid-19 telah mengubah kebiasan dan gaya hidup
masyarakat. Pandemi juga telah membuat orang terbiasa dan sadar akan
norma-norma baru ini, salah satunya adalah bekerja dari rumah. Bagi beberapa
orang, bekerja dari rumah dirasakan sangat efisien, lebih produktif dan
tentunya bagi pelaku wirausaha, sangat dapat menekan biaya. Oleh karena itu,
setelah pandemi ini berakhir, tentunya akan ada kebutuhan akan properti yang
melayani dan menyediakan working space sekaligus tempat tinggal, khususnya yang
diperuntukkan bagi segmen pasar milenial,” jelas Nicholas, yang juga merupakan
investor dan partner dari pengelola hunian co-living, Flokq.
Sahil, salah satu investor real estate yang propertinya
dikelola oleh Flokq juga memiliki pendapat senada dengan kondisi ini. “Setelah pandemi corona, saya yakin akan banyak perusahaan
yang mengeluarkan kebijakan bekerja jarak jauh atau dari rumah bagi
karyawannya. Hal ini menciptakan sebuah kebutuhan logis akan living space di
mana orang-orang dapat bekerja dan networking di tempat yang layak serta
nyaman. Coliving dapat menjawab kebutuhan itu. Maka, menurut saya permintaannya
akan terus meningkat lebih tinggi di masa pasca pandemi nanti,” ujarnya.