GANLOP.COM - Wabah corona diawal
tahun 2020 hingga saat ini telah menciptakan krisis masyarakat yang tentu
membawa pengaruh yang besar terhadap berbagai bidang bisnis. Berhentinya
aktivitas perekonomian mengakibatkan banyak korporasi sulit untuk menunaikan kewajiban/prestasinya
untuk mengembalikan dana kredit sehingga memberikan pengaruh negatif pada rasio
kredit bermasalah yang cendurung mengalami tren peningkatan.
Dampak yang ditimbulkan akibat
penyebaran Covid-19 mengharuskan para pengusaha baik di sektor riil maupun
industri perbankan menjalankan strategi restrukturisasi usaha khususnya
restrukturisasi utang untuk menyelamatkan nafas perusahaannya masing-masing. Restrukturisasi
kredit sendiri merupakan aksi atau keputusan perusahaan untuk menata ulang
kewajiban perusahaan dengan para kreditur untuk menghindar atau menyelamatkan
diri dari kesulitan keuangan yang dialami perusahaan.
Restrukturisasi utang ini
diharapkan menjadi win-win solution bagi seluruh pihak yang berkepentingan.
Perusahaan akan terhindar dari status default atau bahkan pailit. Perlu diketahui bahwa kebijakan
restrukturisasi pada sektor riil akan memberikan dampak postif pada sektor
keuangan. Hal ini dikarenakan apabila kondisi sektor riil menunjukkan kinerja
yang positif, maka sektor riil akan mampu menunaikan kewajiban/prestasinya
untuk membayar atau mengembalikan dana pinjaman dengan, sehingga akan berdampak
terhadap penurunan kredit bermasalah dan diharapkan dapat meningkatkan kinerja
perbankan secara umum
Menyikapi pandemic Covid-19 Presiden RI Joko
widodo mengeluarkan kebijakan melalui Otoritas Jasa Keuangan dengan memberikan
kelonggaran pada kredit usaha mikro yang bernilai dibawah Rp. 10 milyar baik
kredit pembiyaan maupun industri keuangan non-bank kepada debitur perbankan.
Bentuk dari kelonggaran tersebut adalah penundaan pembayaran utang dan
penurunan bunga sampai dengan 1 tahun. Kelonggaran sampai dengan 1 (satu) tahun
tersebut mengacu pada jangka waktu restrukturisasi sebagaimana diatur dalam
POJK Stimulus.
Kelonggaran cicilan yang dimaksud lebih ditujukan pada debitur
kecil a.l. sektor informal, usaha mikro, pekerja berpenghasilan harian yang
memiliki kewajiban pembayaran kredit untuk menjalankan usaha produktif mereka.
Misalkan pekerja informal yang memiliki tagihan kepemilikan rumah dengan tipe
tertentu atau program rumah sederhana, pengusaha warung makan yang terpaksa
tutup karena ada kebijakan work from home. Relaksasi dengan penundaan
pembayaran pokok sampai dengan 1 (satu) tahun tersebut dapat diberikan kepada
debitur yang diprioritaskan.
Dalam periode 1 tahun tersebut
debitur dapat diberikan penundaan/penjadwalan pokok dan/atau bunga dalam jangka
waktu tertentu sesuai dengan kesepakatan ataupun asesmen bank/leasing misal 3,
6, 9, atau 12 bulan. Kebijakan jangka waktu penundaan yang diberikan sangat
erat kaitannya dengan dampak COVID-19 terhadap debitur, termasuk masa pemulihan
usaha dan kemajuan penanganan/penurunan wabah COVID-19. Adapun dasar ketentuan
atas kebijakan ini tertuang dalam POJK Nomor11/POJK.03/2020 tentang Stimulus
Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical. POJK
Nomor11/POJK.03/2020 menegaskan bahwa pihak-pihak yang mendapat kelonggaran ini
antara lain: sektor ekonomi seperti parawisita, perhotelan, transportasi prtanian
dan pertambangan yang mana usaha debitur tersebut terdampak penyebaran COVID-19
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Permasalahan yang kemudian timbul
atas kebijakan ini adalah apakah kebijakan ini akan berjalan efektif dan
maksimal, lalu apakah semua kreditur akan mematuhi kebijakan ini sehingga
setiap debitur yang berhak sebagaimana diatur dalam POJK Nomor11/POJK.03/2020
dapat merasakan kebijakan kelonggaran melalui restrukturisasi utang ini? Secara
umum dalam pengimplementasian restrukturisasi, kreditur seperti bank haruslah
mengacu pada POJK penilaian kualitas aset.
Walaupun nantinya penerapan atau skema
restrukturisasinya dapat beragam dan ditentukan oleh kebijakan masing-masing
bank. Otoritas Jasa Keuangan berharap bahwa sekalipun penerapan kebijakan POJK
Nomor11/POJK.03/2020 diserahkan pada masing-masing kreditur, akan tetapi OJK
menekankan kepada seluruh bank agar dalam pemberian kebijakan restrukturisasi
ini dilakukan secara bertanggungjawab dan agar tidak terjadi moral hazard.
Jangan sampai ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab
(freerider/aji mumpung). Ini terkait dengan debitur yang sebelumnya lancar
namun kemudian jelas-jelas menurun kinerja usahanya sebagai dampak COVID-19,
OJK justru meminta bank agar proaktif membantu debiturnya dengan menawarkan
skema restrukturisasi yang tepat, baik dari sisi jangka waktu, besaran cicilan
ataupun relaksasi bunga.
Sebagai suatu ilustrasi bentuk moral hazard dan
pemberian restrukturisasi yang tidak bertanggungjawab antara lain adalah
kebijakan restrukturisasi diberikan kepada nasabah yang sebelum merebaknya
COVID-19 sudah bermasalah namun memanfaatkan stimulus ini dengan memberikan
restru agar status debiturnya menjadi lancar. Tindakan tidak terpuji ini yang
harus dihindari oleh bank.
Restrukturisasi ini tentunya
mensyaratkan itikad baik dari para pihak (debitur dan kreditur). Pihak debitur
harus berkomunikasi (secara online/surat tanpa tatap muka) dengan
leasing/perusahaan pembiayaan untuk menyampaikan permasalahan dan keberadaan
kendaraan yang menjadi obyek leasing. Hal ini penting agar leasing/perusahaan
pembiayaan sesuai dengan tatacara penarikan kendaraan masih dapat bekerjasama
dengan pihak kepolisian melakukan tindakan hukum apabila terdapat unsur melawan
perbuatan hukum secara perdata maupun pidana.
Referensi:
Kelompok KP/00. 2001, “Analisa
Restrukturisasi Bank Sentral Asia” MM-FEUI
POJK Nomor11/POJK.03/2020 tentang
Stimulus Perekonomian Nasional sebagai Kebijakan Countercyclical
Syifa Chaerani
2301962723
Mahasiswi Bina Nusantara Online Learning
Jurusan Business Management